Karya Lekat S. Amrin
BERKILAU
SORE (bagian 2-habis)
Penggalan akhir kalimat
Cerpen terdahulu :
…Dia adalah Imah. Wanita yang kutemui di tahun ke 23 pernikahanku dengan
Dewi. Tapi sore ini dia bersama seorang putri cantik yang sudah berumur lima
tahun. Siapa putri kecil itu? Dia buah cinta pernikahanku dengan Imah.
Kupeluk putri yang
sangat kusayangi. Imah pun tersenyum manis. Dia tahu bahwa aku bahagia.
----
AKU menyadari telah bertahun-tahun membohongi Dewi. Tetapi, siapa sih yang bisa jujur kepada seorang istri tentang perselingkuhannya pada wanita lain? Kemudian menikah, dan telah punya anak?
Dihadapkan pada pertanyaan ini aku pun jujur, menjadi seorang lelaki yang bingung. Namun sampai kapan aku harus sembunyikan kenyataan ini. Aku merasa tak sanggup melihat istriku Dewi kecewa terhadapku. Karena aku pun sangat mencintainya, dan menyayanginya. Dia wanita yang cerdas, cantik, dan pekerja keras. Bagaimana mungkin aku menyepelekannya! Hanya yang menjadi masalah bagiku, Dewi tidak bisa memberiku anak, sekali pun kami menikah selama 23 tahun. Dan selama itu kami berdua hanya bersabar dan saling memahami, bahkan aku yakin kami saling menyembunyikan apa yang ada dalam fikiran kami masing-masing. Tak lain, sikap itu hanya untuk menjaga perasaan dan saling menghormati.
Bagi diriku, keegoisan sebagai lelaki selalu melintas dalam fikiran. Apakah aku seorang lelaki tulen? Bagaimana mungkin fisikku yang gagah, bisa tidak punya anak. Keperkasaanku tahu persis oleh Dewi, istriku. Dia selalu puas dan berbahagia setiap kami melalui proses pemenuhan kebutuhan biologis sebagai suami istri. Jadi, apa yang harus kubuktikan untuk keperkasaan sebagai seorang lelaki?
Untuk itu harus ada metode. Sekali pun itu sebuah kedustaan. Lebih ekstrim bahkan sebuah pengkhianatan. Semuanya hanya butuh keberanian, karena setiap perbuatan selalu ada resiko kemudian, bahkan tantangan dan perlawanan. Itulah yang harus diambil oleh seorang lelaki yang sedang menghadapi permasalahan. Demikian kalimat yang selalu terngiang dalam kepalaku. Aku harus membuktikan pada dunia, bahwa aku lelaki tulen yang perkasa. Begitulah mengawali kisah pertemuanku kembali pada Imah, yang telah puluhan tahun tidak berjumpa. Dan tak kusangka, ketika berjumpa, Imah sudah menjelma menjadi seorang gadis yang dewasa, wajahnya cantik rupawan. Yang lebih tidak kusangka, bahkan mengejutkan, dia tidak hanya merindukanku, tapi dia menungguku. Benar-benar aku terpukau, terharu dan terkesima.
Hanya sebulan kujalin hubungan padanya. Aku pun membuat kedua orang tua Imah terkejut, karena aku melamar putrinya pada minggu pertama bulan kedua sejak kami jumpa. Orang tua Imah tentu terkejut, karena selama ini aku telah diangkatnya anak. Namun aku menghibah saat menceritakan apa yang kujalani, bahkan kesedihan dan kegundahan yang menyiksa karena belum dikarunia keturunan. Kedua orang tua Imah terdiam mendengar ceritaku, dan pelan-pelan keduanya memandangi wajah putrinya. “Imah, kau dengar itu? Bersediakah menerima dan menjalaninya?” kata ayah Imah.
Gadis cantik itu menganggukkan kepala. Aku tersenyum, lalu kemi berempat saling berpandangan. “Ayah dan Ibu, semua akan kupersiapkan, untuk acara pernikahan,” kataku ketika itu.
Minggu berikutnya aku dan Imah menikah di sebuah masjid desa itu. Imah tidak mau meriah, karena dia tahu aku tetaplah masih suami orang. Luar biasa sikap Imah. Dia mencoba memahami kondisi aku sesungguhnya. Imah faham pada posisinya. Dan Dewi…
“Bang, ayo sarapan…”
Aku tersadar dari lamunan. Dewi kulihat membawa piring makanan untukku. Dalam keterkejutanku, berusaha untuk tersenyum hangat pada Dewi. Aku baru sadar, sejak duduk di dekat kolam di taman belakang, aku sudah melamun panjang.
“Akhir-akhir ini abang sering melamun?” tanya Dewi sambil duduk disampingku sambil meletakkan piring makanan di hadapanku.
Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Kok tahu ma, sering perhatikan?” sahutku sekenanya sambil tertawa kecil.
“Iya, dan itu tentu hal yang menusiawi bagi orang yang penuh dengan kesibukan. Bahkan soal pekerjaan mama di kampus yang belum selesai, sering membuat mama melamun memikirkannya,” kata Dewi simple.
Aku mengangguk. Dadaku sesungguhya berdebar, ketika dalam kepalaku melintas wajah Imah dan putriku. Adakah kesanggupanku untuk menceritakan sesungguhnya yang telah terjadi?
“Ayo bang, makan,” kata Dewi sambil menyendokkan nasi ke piring di hadapanku.
“Sebentar ma. Habis makan nanti ada yang ingin kujelaskan pada mama,” kataku, dengan dada berdegup.
“Oh ya? Penting?” sahut Dewi sambil memandangku.
“Ya, sangat penting,” sahutku berusaha untuk makin bernyali.
“Oke, di taman samping rumah aja, habis kita sarapan,” kata Dewi dengan sangat enteng.
Padahal yang akan kuceritakan sangatlah berat baginya. Aku selalu membayangkan bagaimana kemarahannya, bahkan kemurkaannya padaku. Pengkhianatan, kedustaan, caci maki, adalah kata-kata yang sudah kubayangkan. Bahkan hal yang terburuk, dia minta bubar. Ini benar-benar butuh nyali yang besar untuk menjelaskannya pada Dewi, yang selama ini tidak pernah kusakiti. Aku hanya berharap dan berdoa semuanya dapat dipahami oleh Dewi tentang apa yang telah terjadi padaku…
Ketika aku telah duduk di taman samping rumah kami yang asri, Dewi masih masuk ke kamar sebentar. Sementara aku sudah mengatur kalimat pertama yang akan kusampaikan pada istriku itu. Aku harus pilih kata yang pas dan penuh etika, karena aku tidak ingin keributan destruktif yang akan diketahui oleh tetangga…
Berapa saat kemudian Dewi melangkah. Aku memandangnya, yang menuju kursi santai di hadapanku. Dadaku berdegup, berdebar-debar.
“Bang, apa yang ingin abang ceritakan padaku, sesungguhnya aku sudah tahu semua,” kata Dewi tiba-tiba.
Aku terperanjat. Mataku menatapnya. “Memangnya apa yang ingin kuceritakan ma?” tanyaku.
Dewi pun membuka android di tangannya. “Ini kan yang ingin abang ceritakan padaku?” kata Dewi sambil memperlihatkan layar sentuh ke depan wajahku.
Sekali lagi aku terperanjat. Kusaksikan di layar itu, foto Imah dan putriku ketika selfi denganku di pinggir pantai. Aku terdiam beribu bahasa menyaksikan itu. Badanku terasa tiba-tiba berkeringat.
“Bang, seorang dosen temanku memberitahu facebook ini,” kata Dewi lagi.
“Jadi…”
“Ya. Bahkan ketika aku tahu informasi ini, aku diam-diam pergi ke desa ini, untuk membuktikan kebenarannya. Aku tidak bodoh bang. Aku sudah tahu cerita ini langsung dari Kepala Desa,” jelas Dewi menatapku.
“Maafkan aku ma…”
“Tidak perlu minta maaf bang,” potong Dewi. “Kita semua punya kesalahan. Akupun menyadari kelemahan diriku. Ini, kau baca,” kata Dewi sambil menyerahkan selembar kertas padaku.
Kubaca pelan-pelan. Itu surat keterangan dokter ahli kandungan, yang memberi penjelasan, bahwa Dewi dinyatakan mandul permanen. Dan aku tertegun.
“Aku selalu berusaha bang, tapi inilah kenyataannya. Aku sedih, aku pasrah…” kata Dewi tiba-tiba menangis.
Aku terdiam, tak tertahan rasanya, kuraih bahu Dewi, kupeluk dia. Kucoba memahami perasaan istriku itu. Bagaimana mungkin dia bisa sembunyikan perasaan ketika mengetahui semuanya? Dia wanita yang sangat sabar. Wanita yang luar biasa. Tak ada perasaan lain, bahwa aku tetap merasa berdosa padanya.
Akhirnya kami berdua sama-sama menangis.
“Maafkan aku ma,” bisikku pada Dewi.
Dewi mengangguk dalam derai air mata. “Suatu ketika, bawa anak itu, dan kenalkan padaku,” kata Dewi sambil mengusap air matanya dengan tisu yang kuberikan padanya.
Aku pun mengangguk.
Dan kami berdua berpelukan erat. (habis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar