Mari kita tingkatkan pola hidup sehat, budayakan sering cuci tangan, Jaga jarak, cegah covid-19                                                                                                                                                                                                                                                               

Jumat, 25 Juni 2021


Cerita pendek

Karya Lekat S. Amrin

BERKILAU SORE


KEINDAHAN alam menjadi sempurna ketika sore berkilau mentari.  Suasana itu bahkan masih sama seperti yang kusaksikan tiga puluh tahun yang lalu. Yang berubah hanya lapisan kulit bumi serta tumbuhan di permukaannya.  Selebihnya, gaya hidupku yang tidak seperti dulu lagi. Penuh fasilitas dan hidup bergaya. Aroma wangi yang lembut mengikuti hembusan AC Jeep Robicon melaju di atas aspal hitam yang mulus.  Tapi hatiku pun jujur ingin berkata, bahwa  kisah pilu dan bahagia selalu berdekatan ditengah hidupku, sekalipun  dalam kemapanan yang kucapai. Aku berada di dalam fasilitas yang kumiliki sambil mengenang sepenggal memori ketika melewati jalan itu.

Kenangan itu sudah cukup lama. Tiga puluh tahun! Tetapi masih segar sekali dalam ingatan. Jalan lurus Alas Maras, itu sebuah nama yang cukup terkenal sebagai fasilitas negara.  Persis di tepian samudera hindia wilayah Bengkulu Selatan. Fasilitas jalan negara ketika itu kondisinya masih sangat parah. Tapi, tempat itu mengingatkan aku pada peristiwa remaja yang penuh kisah cinta, pilu dan bahagia.

Dalam bis yang cukup ngetren tahun 1988, dengan modifikasi body rangka kayu, aku  berada di dalamnya sebagai salah seorang penumpang. Tapi hari itu aku sangat bahagia. Sekali pun badan selalu tergoncang  saat bis yang kutumpangi  rodanya  masuk  lobang aspal penetrasi  dengan hamburan batuan   sebesar tinju orang dewasa. Dan pintu-pintu bis itu pun berderak-derak seperti mau jatuh.  Ditambah suara knalpot desel yang bising dengan asapnya yang hitam. Namun kutegaskan, perjalanan itu sungguh menyenangkan. Karena pagi tadi, sebelum menaiki bis ini aku mendapatkan cinta seorang gadis yang selama ini kudamba.

                “Aku kini tidak ragu lagi bang. Pernyataan isi hati abang sebulan yang lalu hari ini kujawab. Aku menerima cinta abang,” kata Dewi, seorang gadis cantik yang selama ini menyiksaku dalam penantian.

                Sungguh aku seperti ingin terbang. Haru biru penuh bahagia. Dan seakan aku paling hebat sedunia, paling tangguh sebagai seorang pemuda. Bagaimana mungkin aku tidak merasa demikian, seorang Dewi adalah bidadari, bisa kudapatkan. Semua teman-teman kuliahku mengatakan bahwa aku mendekatinya adalah tindakan yang paling konyol. Karena sahabat-sahabatku tahu, aku seorang anak dari orang tua petani yang sederhana. Kedua orang tuaku hanya pintar berkebun dan bersawah. Sementara Dewi adalah seorang gadis paling cantik di eks kwedanaan Kaur. Dan dia anak seorang juragan cengkih dan keturunan pangeran zaman Belanda.  Kecantikannya menurut teman-teman kuliahku mirip Chintami Atmanegara, bintang film yang terkenal ketika itu. Ini menurutku luar biasa.

                “Arif, Arif…, seleramu ketinggian! Becermin dong,” kata Riduan dengan sinis. “Dewi itu bukan kelas kita ini,” lanjut Riduan lagi dengan serius. Itulah sahabatku yang selalu mengingatkan aku selama ini. Teman yang lain pun pendapatnya tak jauh beda. Kata teman-temanku itu, bukan semata-mata mau melarang usahaku, tapi mereka tidak ingin melihat aku kecewa, lalu patah hati. Aku mengerti, sahabat-sahabatku itu orang baik. Mereka memberi nasihat yang tulus ikhlas untuk kebaikanku.

                Tapi aku pun merasa aneh. Diriku begitu nekad untuk berani mendekati Dewi. Dia adik tingkat  di Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Waktu orientasi mahasiswa, aku berinteraksi dengan Dewi , karena dia sebagai mahasiswa baru. Ketika itulah hati kecilku berkata, tatapan mata Dewi terhadapku, adalah bentuk kekagumannya pada seorang pemuda. Ya, kekaguman! Aku sangat yakin dengan kata hatiku. Karena menurut teman-temanku, wajahku mirip Wily Dozan, sang bintang laga yang cukup terkenal ketika itu. Jadi, aku ini percaya diri.   Wajahku tidaklah jelek-jelek amat bila ada teman yang mengatakan wajahku mirip seorang bintang film. Sekali pun kadar mirip itu hanya berapa persen saja.

                Itulah yang terjadi. Aku yang bernama lengkap Arif Puja, tetap nekad mendekati Dewi. Dan sebulan yang lalu, rasa cinta kasih yang terus bersemi, seakan sebagai hentakan yang menyiksa bathinku. Apa pun yang terjadi, perasaan itu pun kutumpahkan di hadapan Dewi, sang bidadari.Tapi dia tak langsung menjawab. Katanya saat itu: “Aku berfikir dulu bang, belum akan kujawab hari ini.”

                Iniliah penantian yang sungguh menyiksa. Tidur tak lelap. Kuliah di hadapan dosen tak fokus. Makan pun tak berselera. Benar-benar hari-hari  yang menyengsarakan. Yang lebih mengerikan dalam bayanganku, bila nasihat teman-teman benar, bahwa Dewi tidaklah se level untuk kudapatkan. Artinya dia menolak, dengan berbagai alasan. Sungguh, alangkah sedih dan pilu yang akan kurasa….

                Seketika aku tersadar dalam lamunan, saat bis yang kutumpangi itu berhenti.

                “Penumpang ada yang turun,” kata kenek memberitahu penumpang lain.

                Aku melihat ke beberapa penumpang lain yang berdesakan. Kulihat seorang gadis kecil bersama ibunya yang duduk disampingku nampak beranjak dari jok tempat duduknya.  Keduanya mau turun persis di pondok pemberhentian dekat dengan tambak udang yang luas di sepanjang pantai Alas Maras. Aku hanya tersenyum pada ibu orang tua gadis kecil itu, ketika dia menyapa bahwa dia akan segera turun dari bis yang sama-sama kami tumpangi.

                Ketika bis itu kembali melaju, aku mencoba lebih rileks dan santai. Wajah Dewi pun membayang. Ucapan gadis cantik yang telah menerima cintaku sungguh kunikmati sebagai sukacita yang mendalam, dan kuanggap keberuntungan yang luar biasa. Bila hal ini kusampaikan kepada teman-temanku, alangkah terkejut dan kagumnya mereka. Bahkan mungkin mereka tidak percaya.

                Bis terus melaju. Dua jam kemudian, bis itu pun sampai di terminal Panorama Bengkulu. Semua penumpang bersiap beranjak, bahkan ada yang duluan berdiri untuk turun. Aku pun demikian. Tapi aku sedikit terkejut, ketika di jok tempatku duduk ada dompet kecil berwarna merah. Spontan aku tanya ke penumpang lain yang berdekatan, apakah dompet itu milik mereka. Tapi semua menggelengkan kepala, dan berkata itu bukan milik mereka. “Simpan saja,” kata yang lain memberi komentar sambil berlalu.

                Aku pun menyimpan dompet itu dalam rangsel yang kusandang.

                Setelah tiba di rumah kos, baru aku sadar dan berfikir, bahwa dompet itu pastilah punya gadis kecil dan seorang ibu yang duduk di sampaing ku sekian jam yang lalu. Keduanya turun di pondok pemberhentian tambak udang Alas Maras. Tergopoh aku ingin tahu isinya. Ternyata sungguh mengejutkan aku. Seuntai kalung emas dan cincin mungil di dalamnya. Seketika itu pun aku bingung, harus berbuat apa. Karena dapat kubayangkan, betapa ibu dan anak kecil itu sangat sedih dengan kehilangan benda berharga itu. Dapat kubaca pada surat emas itu seuntai kalung seberat 20 gram, dan cincin 10 gram. Asli, kelas emas itu 24 karat.

                Aku berfikir dengan keras, harus berupaya mengembalikan barang itu. Tak sedikit pun hati kecil ku ingin mengambil barang itu. Karena itu bukan hakku. Justru dengan hati berdebar-debar, aku tak berfikir panjang, akhirnya aku kembali memutuskan untuk ke terminal Panorama Bengkulu. Aku harus kembalikan barang itu kepada ibu dan seorang gadis kecil pemiliknya. Aku yakin barang itu milik mereka, karena hanya merekalah yang duduk di sampingku ketika itu.

Dengan uang yang pas dalam dompetku, aku bergegas ke terminal Panorama, dan mencari bis atau mobil lain yang kembali ke Bengkulu Selatan.  Kebetulan Tuhan memberi kemudahan, mobil yang kucari pun kudapatkan, dan akan segera berangkat. Aku tergopoh naik mobil mini bus itu dengan sedikit legah. Ingin rasanya aku mau cepat-cepat tiba di pemberhentian tempat ibu dan anak kecil turun dari bis sekian jam yang lalu. Aku harus ketemu mereka.

Saat  mini bus tiba, hari sudah gelap. Dan aku tergopoh turun dari mini bus yang kutumpangi. Desa itu gelap gulita, karena listrik belum ada. Hanya lampu minyak tanah yang menerangi rumah-rumah penduduk. Aku bertanya kepada beberapa orang yang duduk di pondok pemberhentian tambak udang Maras, apa mereka tau seorang ibu dan anak gadis kecil yang turun sore tadi. Rupanya ada yang tahu ibu yang kumaksud. Aku pun diantar, kerena rumah itu tidak jauh, sekitar seratus meter dari pemberhentian tambak udang. Sampai depan rumah itu, orang yang mengantarku pun kembali.

Ketika mendekati rumah, aku mendengar suara tangis sesenggukan di dalam rumah. Saat aku ketuk pintu rumah, tak lama seorang bapak muda membuka pintu. Dia sedikit terkejut, karena orang yang berada di hadapan tidak dikenalnya.  Aku dipersilahkan masuk. Dan seperti orang tergopoh-gopoh, tanpa basa basi aku pun memperkenalkan diri. Seakan bersahut  cerita, ibu muda di hadapanku langsung memotong cerita yang belum selesai kujelaskan, karena dia  rupanya mengenali  wajahku adalah salah seorang penumpang bis sore tadi, yang duduk satu bangku dengan dia dan anak gadisnya. Menurutnya yang menangis itu adalah putrinya, gadis kecil yang sore tadi duduk dalam bis persis di sampingku. Dia memarahi dan menyalahkan anaknya karena menghilangkan kalung emas dan cincin yang baru dibeli dari toko emas kota Manna. Seketika itu pun aku jelaskan pada kedua orang tua itu, tak usah lagi memarahi anak gadisnya itu, karena barang itu sudah kutemukan di tempat duduk bis yang ditumpangi siag tadi. “Aku sengaja kembali ke sini, untuk menyerahkan baraang ini,” kataku, sambil menyerahkan kalung dan cincin itu kepada sang ibu.

Suasana itu pun berubah. Bapak dan ibu itu tampak terharu sekali. Keduanya berucap: “Ya Allah, terima kasih nak, terima kasih. Sejak tadi kami kesusahan sekali,” kata suami istri itu sambil menatap wajahku  penuh rasa kagum. Dengan tulus mereka benar-benar mengucapkan terima kasih berkali-kali. Dan selalu mengatakan aku seorang pemuda yang baik. Bahkan orang tua gadis itu mengatakan aku seperti malaikat. “Saat ini sulit menemukan anak muda sejujur kamu,” kata ibu itu sambil menggenggam kalung dan cincin yang baru saja kuserahkan.

Mendapat pujian berlebihan seperti  itu membuat aku malu. Tapi aku hanya tersenyum kepada kedua orang tua itu, sembari meminta sang gadis kecil untuk keluar dari kamarnya. Aku merasa ingin kembali melihatnya. Dan tak usah menangis lagi, karena emas yang hilang sudah ditemukan. 

 Sungguh malam itu sangat berkesan bagiku.  Berbuat baik sekecil  apa pun yang baru kulakukan, sungguh membuat hatiku puas dan bahagia. Apa lagi melihat gadis manis yang tadinya terdengar menangis, kini tiada lagi air mata di pipinya.  Justru raut kegembiraan terpancar dari wajahnya yang cantik setelah barang berharga telah kembali pada ibunya. 

Dengan diterangi lampu minyak malam itu, aku bercerita tentang diriku adalah seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Bengkulu. Sementara ibu gadis  itu menceritakan padaku, putrinya bernama Dasimah. Mereka memanggilnya Imah. Dia masih sekolah di SMA Manna, kelas satu IPA. Selama ini, sudah lama sekali ingin membelikan anak gadisnya seuntai kalung dan cincin emas. Ibu itu menganggap cahaya dan kecantikan seorang wanita akan semakin sempurna ketika berhias emas dan permata. Dan dia hendak mewujudkan hal itu pada anak gadis  semata wayangnya.  Aku mencoba memahami apa yang dimksudkan orang tua itu, lalu melirik Imah yang terseyum manis.

Ketika malam semakin larut, aku diminta untuk bermalam di rumah mereka. Tidak ada pilihan lain bagiku. Tak mungkin aku kembali ke kota Bengkulu di saat hari sudah larut begini. Jalan sudah sepi, tak ada lagi mobil tumpangan, di tengah pedesaan yang makin gelap gulita. Malam itu hanya kudengar gemuruh ombak samudera yang berada persis di belakang rumah tempatku berada. Aku pun disiapkan tempat tidur di kamar bagian depan rumah itu.

Besoknya ketika aku bangun, rupanya kedua orang tua Imah sudah lama bangun. Sejak subuh sudah tidak tidur lagi. Sang ibu mempersilahkan aku mandi di sumur belakang rumah. Bak-bak mandi sudah penuh tersedia air. Dalam hati aku berbisik, begitu baik keluarga ini melayani tamu. Apakah karena aku telah melakukan kebaikan dan kejujuran?

Yang lebih  tidak kusangka sama sekali, orang tua Imah  memotong ayam kampung peliharaan mereka untuk menjamu diriku.  Ini membuat aku malu. Terasa berlebihan sekali. “Ini terlalu istimewa bu. Aku ini tak berharap dilayani seperti ini,” kataku ketika kami makan bersama pagi itu.

“Ini biasa nak. Ayam peliharaan bapak banyak, dan kami ikhlas. Mulai saat ini nak Arif sudah kami anggap keluarga,” sahut ibu.

Aku tersenyum, dengan perasaan tersanjung gembira.

                                                                                    *  * *

Di pagi yang cerah itu, saat aku menunggu bis di pinggir jalan, Imah dan kedua orang tuanya mendampingiku. Mereka menunggu sampai bis tiba, dan sampai aku menaiki bis pun mereka belum beranjak di pinggir jalan itu. Pelahan-lahan bis nerayap  menuju kota Bengkulu.  Lambaian tangan mereka bertiga benar-benar menyentuh rasa simpatiku. Mereka polos dan baik.

Seiring waktu, semuanya pun penuh aktifitas dan kesibukan masing-masing. Aku fokus dengan kuliahku. Dan hubunganku dengan Dewi pastilah berlanjut berbarengan dengan proses perkuliahan kami masing-masing. Semua teman-temanku sudah kuduga sangat kagum dan salut dengan kemampuanku mendapatkan Dewi, sekali pun sebelumnya mereka setengah tidak percaya. Tapi mereka semua pada akhirnya benar-benar yakin, ketika Dewi selalu memperlihatkan kemesraan ketika berada di dekatku. Mereka pun pada akhirnya mendukung dan mendoakan kami menjadi pasangan yang ideal, dan berlanjut ke jenjang pernikahan.

Doa semua sahabat-sahabatku itu pun menjadi kenyataan. Setelah beberapa tahun kami selesai wisuda, aku melamar Dewi . Ketika itu pun Dewi  sudah menyusun skripsi, sesuai waktu. Dia memang seorang mahasiswi yang cerdas. Dan kami menikah di Padang Guci, salah satu kecamatan di eks kwedanaan Kaur.  Aku bekerja di sebuah perusahaan pengembang perumahan, sementara Dewi, istriku menjadi seorang dosen di beberapa perguruan tinggi swasta di Bengkulu.

Secara ekonomi, aku dan Dewi sangat beruntung. Kami sama-sama sukses. Usaha yang aku jalankan selalu berhasil, dan perjalanan karir Dewi pun tidak ada kendala. Tapi satu hal yang membuat kami berdua sering gundah, sudah hampir sepuluh tahun kami menikah belum mendapatkan keturunan. Kami berdua cukup sabar menunggu karunia Tuhan itu, dan selalu menciptakan komunikasi sebaik mungkin diantara aku dan Dewi sebagai suami istri, untuk menyikapi kendala kami berdua. Kami tidak ingin saling menyalahkan apa lagi saling mencurigai. Yang perlu bagi kami berdua berusaha dengan berbagai cara, baik konsultasi medis, bahkan dengan orang pintar sekali pun kami coba lakukan.  Tekad kami berdua, bagaimana caranya kami ingin sekali mempunyai keturunan dari genetik kami sendiri. Tapi  waktu  terus berjalan, usia sudah berkepala empat, aku dan Dewi pun terus berada dalam penantian.

Ada kalanya kami berdua telah pasrah. Putus harapan, sekali pun kami tetap semangat menjalani kehidupan dan profesi kami masing-masing. Kami berdua ingin tetap berprestasi pada kapasitas dan profesi yang ditekuni. Dewi sibuk dengan mengajar di kampusnya, dan aku sibuk ke lapangan menjalankan usahaku di bidang perumahan. Bertahun-tahun hal itu kami jalani seperti tidak ada masalah besar di antara kami berdua. Seakan tak ada kesedihan dan kebohongan.

Dan bagiku hari ini, setelah tiga puluh tahun  berlalu, bahwa ada kisah dari sebuah perjalanan panjang yang penuh rahasia. Pilu dan gundah yang kuhadapi siang dan malam seperti tak berujung. Bahkan tak tertahankankan lagi. Bagiku, penerus generasi sebagai penyambung keturunan betapa sangat pentingnya. Kesuksesan ekonomi dan kemapanan seakan tak berarti apa-apa, tanpa kehadiran anak sebagai pewaris.  Dan sebagai seorang yang cerdas aku harus mampu dan tau cara memilikinya. Sekali pun itu kebohongan yang memilukan. Mungkin  begitu bagi Dewi, atau kedustaan bagi diriku sendiri. Di tahun ke 23 pernikahanku pada Dewi, secara diam-diam aku menemui seseorang di suatu tempat. Aku ingin tahu kabarnya. Tapi sungguh diluar dugaan, aku sama sekali tak tahu kalau selama ini dia menungguku.  Diam-diam dia mencintaiku.

Hari ini, di pantai Alas Maras terasa telah sore dan berkilau indah. Ketika aku melewati  jalannya yang lurus dan mulus dengan Jeep Robicon kesayangan, maka seseorang telah kuduga menungguku di pantai itu. Dia adalah Imah.  Wanita yang kutemui di tahun ke 23 pernikahanku dengan Dewi. Tapi sore ini dia bersama seorang putri cantik yang sudah berumur lima tahun. Siapa putri kecil itu? Dia buah cinta pernikahanku dengan Imah.

Kupeluk putri yang sangat kusayangi.  Imah pun tersenyum  manis.  Dia tau bahwa aku bahagia.

 

Padang Guci, Maret 2021

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar