Mari kita tingkatkan pola hidup sehat, budayakan sering cuci tangan, Jaga jarak, cegah covid-19                                                                                                                                                                                                                                                               

Sabtu, 06 November 2021

Cerpen “Mantra Anak Jalanan”

 Karya Lekat S. Amrin

MANTRA ANAK JALANAN (bagian 1)



“…mantraku sepertinya akan kutujukan padamu…,” bisik Aleksander Al Amin

WALAU hidup di jalanan, dia sangat mengerti arti cinta. Bahkan kasih sayang pada sesama selalu dia buktikan setiap saat ketika dia berada. Deretan beton kaki lima pertokoan sepanjang jalan Soeprapto, adalah saksi bisu bahwa dia seorang yang penyayang.

                “Betapa tak pantas kau tidur di sini dik. Tapi apa daya, kita orang miskin,” bisik remaja itu, sambil membuka jaket lusuhnya, dan menutupi tubuh seorang anak lelaki kecil yang tidur pulas di atas kardus di kaki lima Soeprapto. Dia penuh kasih dengan segenap kelembutan sikapnya. Begitulah dia, sebelum paling akhir, ia pun merebahkan tubuhnya.

Malam itu sudah jam tiga dini hari, bahkan gerimis rintik-rintik seakan  itu pun pertanda alam   tak mau bersahabat dengan mereka. Dingin dan sunyi, karena semua pemilik toko sudah tidur pulas, setelah jam dua belasan menutup usahanya masing-masing.  

                Remaja itu dipanggil Al. Nama lengkapnya Aleksander Al Amin. Sebuah nama yang cukup bagus. Kedengarannya modern dan bermakna. Kalau tidak keliru nama itu  dapat berarti: ‘aleksander terpercaya’. Yah,  begitulah Al, bergabung dengan teman-temannya sudah satu  setengah tahun, dan hidup tak menentu di jalanan. Sebagai pemilik nama Al Amin, Al memang selalu dipercaya teman-temannya dalam mengatasi kondisi apa pun di hadapan mereka.

                Ketika anak lelaki kecil terbangun dari tidurnya pagi itu, Al sudah lebih dulu merapikan kardus tempat alas mereka tidur. Hari sudah sidikit samar-samar menuju terang, dan Al pun menyuruh anak kecil itu pun cuci muka di toilet umum. “Sebelum rame, kau duluan cuci muka, atau sekalian mandi!” teriak Al memerintah anak itu. Dan secepat itu pun anak itu  menuruti perintah Al. Sementara Al sendiri tersenyum. Ia teringat, ketika anak itu diambilnya saat menangis sedih, sesenggukan di kawasan Pasar Minggu. Dikiranya, ketika itu usia anak tersebut sekitar lima tahunan. Saat ditanya, anak itu bernama Muslih, dan ditinggal ibunya pergi entah kemana, setelah dibawa dari sebuah desa yang jauh, bahkan anak itu sendiri tidak tahu nama kampungnya, kecuali hanya menyebut kata ‘Batam’. Menyedihkan sekali perjalanan bocah itu.

                Al mengajari anak itu menjadi tukang parkir di ruas jalan Soeprapto, bersama remaja-remaja lain yang sama-sama anak miskin. Pekerjaan itu tak pantas untuk bocah kecil. Tapi tak ada pilihan lain. Hanya itu yang dapat dilakukan untuk bertahan hidup. Dari kerja itu dapatlah untuk makan sehari-hari, menyambung kehidupan mereka. Sesekali mereka diberi uang receh oleh pemilik toko, atau nasi bungkus, pertanda mereka berterima kasih karena mobil mereka yang parkir di depan toko selalu  dijaga semalaman. Begitulah perjuangan hidup yang dialami Al.

Tapi sesungguhnya, anak-anak remaja jalanan yang lain itu tidak tahu kalau Al sebenarnya seorang mahasiswa, dan sudah tiga smester di sebuah perguruan tinggi swasta di kota ini. Ketika sore ia menghilang, dan kembali bersama temannya setelah jam sepuluh malam. Sungguh tidak diketahui oleh sesama remaja jalanan lain, bahwa Al menghadiri  perkuliahan. Dan dia  ada tempat tinggal, sebuah kamar sempit dan pengap di Pasar Minggu, dekat dengan gedung pemadam kebakaran.  Al diberi oleh seorang petugas Damkar karena dia kasihan melihat Al tak punya tempat tinggal. Tapi Menurut Al, tak ada gunanya bercerita, toh dia juga sama-sama berjuang dalam kemiskinan ini di jalanan. Mencari uang jadi tukang parkir, ngamen di rumah makan, semua dia lakukan, yang penting dapat uang halal, dan itu untuk perjuangan menuju masa depan kuliahnya.

                “Al…,” panggil seseorang.

                Al tersadar dari kesibukannya mengatur mobil yang mau parkir.  Dilihatnya seorang gadis tersenyum padanya sambil menghentikan motor Spin yang dinaikinya.

“Oo, Mayang?” sahut Al dengan nada bertanya. Tapi sungguh, dia riang ditemui gadis cantik itu.

“Ya. Kau sibuk pagi ini Al?” tanya gadis cantik yang bernama Mayang itu.

“Eng…, tidak juga. Kerja gini aja May. Ada apa?” Al memandang wajah gadis yang nampak ada perlu padanya.

“Tolong antarin aku ke kampus dong,” pinta Mayang.

“O itu May. Siap, siap,” sahut Al mengangguk cepat.

Al pun minta Muslih untuk menggantikannya mengurusi parkiran di tempatnya. Anak itu pun menganggukkan kepala sambil menyambar pluit yang dilemparkan Al padanya.

Setelah memakai helm yang diserahkan Mayang, motor itu pun melaju di jalan Soekarno Anggut, kemudian menuju Benteng Marlborough. Al biasa mengantar Mayang lewat jalur itu, dan melaju di pantai Jakat sebelum tiba di kampus Universitas Bengkulu. Sampai kini, Al menyadari hanya Mayang sebagai teman wanitanya yang akrab. Dan sebelumnya mana ada  gadis mau berteman dengan tukang parkir.  Itu pun tentu karena  ada kisahnya.

Al masih ingat betul, ketika itu sekitar jam dua belas siang, tiba-tiba ada teriakan seorang perempuan. “Maliiinnngg…!!!” itu suara seorang gadis yang berteriak sambil menunjuk-nunjuk seorang lelaki muda berlari sambil membawa tas. Oo, rupanya, pencuri. Peristiwa itu terjadi di depan toserba Puncak, Soeprapto.

Spontan Al mengejar lelaki muda itu dengan sekuat tenaga. Ketika hampir dapat, rupanya pemuda itu mengeluarkan sebilah pisau tajam dan mengkilap. Semua orang yang ikut mengejar berhenti dan mundur. Al pun berhenti, tapi tidak mundur. Dia terus dekati pemuda itu tanpa sedikitpun gentar. Sudah tentu pemuda yang kelihatan bertato di lengan itu tak ada pilihan lain kecuali melawan dan menyerang. Dan tak terelakkan, terjadilah perkelahian hebat diantara keduanya.

Ketika itu, semua orang ngeri menyaksikan pertarungan tersebut, karena peristiwa itu bukanlah adegan film. Aksi nyata di depan puluhan pasang mata. Dan di situlah Al mempertontonkan dia bagai seorang pendekar. Semua serangan mematikan dapat ditepis dengan kuda-kuda seperti seorang pesilat profesional. Sampai akhirnya, pisau tajam itu dapat direbut, dan lelaki pencuri itu pun dilumpuhkan dengan totokan tinju di bagian wajah. Saat lelaki itu sudah tergeletak tak berdaya, polisi pun sampai di lokasi, dan mengamankan pencuri itu dari amukan massa.

Seketika itulah semua kagum pada keberanian dan kemampuan Al. Semua salut dan berterima kasih dengan remaja jalanan ini. Apa lagi seorang gadis yang hampir kehilangan tas. Tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Al. Dia sangat tertolong, karena tasnya berisi uang 30 juta rupiah yang baru diambil dari bank telah terselamatkan. “Saya ingin membayar uang smester untuk kuliah saya di kedokteran. Dan untuk keperluan lain,” jelas gadis itu dengan penuh haru ketika menerima tas yang diberikan Al padanya.

Al mengangguk, sambil menerima uluran tangan gadis itu untuk memperkenalkan namanya. “Saya Mayang Permatasari. Dipanggil Mayang,” kata gadis itu.

“Saya dipanggil Al. Nama lengkap, Aleksander Al Amin,” sahut Al sambil menyeka keringat di keningnya.

“Ya. Saya sekali lagi ingin berterima kasih, Al. Ini, mohon kau terima,” kata Mayang spontan  mengeluarkan seikat uang dari tasnya.

Al terkejut. “O, tidak, tidak. Saya tidak mau terima. Saya ikhlas menolong kamu,” kata Al sambil mengatupkan kedua tangannya di dada.

“Saya juga ikhlas memberikan uang ini, Al. Kau sudah menolong saya,” ujar Mayang seakan mendesak.

Al menggeleng. Dia tetap tidak mau menerimanya. Dan, ia pun meninggalkan gadis itu.

Mayang hanya tertegun.  Kelihatan bingung dan merasa aneh, bahwa di hari gini masih ada orang yang siap berbuat ikhlas, bahkan bertaruh nyawa, tetapi tidak mau terima uang. Gadis itu pun berdiri saja, dan tidak bisa lagi menyaksikan pemuda itu.  Telah menghilang dalam keramaian jalan Soeprapto.

Baru beberapa hari kemudian, Mayang kembali mencari Al. Pastilah bertemu, karena Al hanya seorang tukang parkir di jalan Soeprapto. Tak sulit mandapatkannya. Al diajak istirahat dari pekerjaannya, dan  teman-teman anak jalanan yang lain diminta Mayang untuk makan bareng di warung Kuliner  Basuki Rahmat. Al tak enak untuk menolak ajakan gadis itu mentraktir semuanya. Tampak hari itu keceriaan wajah-wajah anak jalanan diberi kebebasan memilih menu kesukaan. Sungguh mereka malu-malu, karena tak pernah diperlakukan hormat sedemikian rupa oleh seorang wanita rupawan.

Ketika Mayang bertanya lebih dalam tentang kemampuan Al dapat mengalahkan sang pencuri beberapa hari yang lalu, Al hanya tersenyum kecil.

“Benar lho, orang-orang seakan tak percaya kau dapat menaklukkan pencuri itu,” kata Mayang masih dengan kekagumannya. “Tapi faktanya pencuri itu kau lumpuhkan,” lanjut gadis itu.

Al hanya tertawa terkecil. Tetapi seketika itu, dia terbayang pada seorang guru gustinya sejak dia masih di bangku SMP dulu. Nama gurunya itu, Oemar Bey. Al menyadari betul, betapa berat gemblengan dari seorang gurunya. Belajar silat dilakukan malam hari yang gelap, dan di hutan pinggiran pemukiman. Tak banyak tahu orang kampungnya di Tanjung Sakti, bahwa dia masih usia SMP telah belajar ilmu bela diri atau silat. Di kampungnya disebut kuntaw. Bermula dari kelas satu, sampai selesai SMP Al mempelajari semuanya. Bahkan ilmu kebathinan beserta mantra-mantranya hampir satu buku penuh sebagai catatan, untuk dihafalkan di luar kepala.

Jadi untuk menghadapi satu orang tentu pekerjaan itu sangat ringan, karena sesungguhnya yang diajarkan gurunya, ketika tes terakhir, harus menghadapi tujuh orang sekaligus. Dan Al telah lolos dalam ujian itu. Jadi, peristiwa menangkap pencuri beberapa hari lalu itu baginya sungguh pekerjaan mudah. Lebih jauh justru adalah mantra ilmu kebathinan, ilmu kebal, ilmu penakluk binatang buas seperti harimau, ular, bahkan ilmu penakluk hantu sudah Al kuasai.

 Tapi justru satu hal yang sangat menarik bagi Al, adalah mantra penakluk wanita. Mantra itu tidak mudah diberikan Oemar Bey sebagai gurunya. Tetapi karena Al berjanji dapat menjaga marwah mantra itu dengan baik maka diberikan juga oleh gurunya. Mantra itu tertuju hanya kepada seorang wanita pilihan terakhir.

Al mengangkat wajah. Dan senyuman kembali dia lemparkan kepada Mayang yang rupawan.

Gadis itu membalas senyuman Al. “Kau dapat berbagi cerita padaku Al?” tanya Mayang kemudian.

“Cerita apa yang ingin kau dengar May?” tanya Al pula.

“Bagaimana kau begitu mudah menakhlukkan pencuri itu,” Mayang ingin tahu.

Al mengangkat wajahnya, dan dia pun hendak memulai berkisah.

Tapi pundaknya telah ditepuk seseorang. “Kita sudah sampai di depan kampus Al,” teriak Mayang.

Al tersadar dari lamunannya, bahwa kini dia mengantar gadis itu ke kampus. Lalu dia mengerem Spin yang dikendarainya.

“Al, kau tunggu sebentar. Aku hanya mengisi absen,” gadis itu berlari menuju  ruang kuliahnya.

Al mengangguk dan termangu sejenak, sambil memandangi punggung Mayang yang montok. Selanjutnya Al berbisik dalam hati; “…mantraku sepertinya akan kutujukan padamu…,” (bersambung)

Bengkulu, Nopember 2021

“Buat Erwin Johan, pemberi ide cerita.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar