Mari kita tingkatkan pola hidup sehat, budayakan sering cuci tangan, Jaga jarak, cegah covid-19                                                                                                                                                                                                                                                               

Senin, 15 November 2021

Cerpen “Mantra Anak Jalanan” (bagian 2)

 Karya Lekat S Amrin

Mantra Anak Jalanan (bagian 2)

Kutipan cerita terdahulu:

Al mengangguk dan termangu sejenak, sambil memandangi punggung Mayang yang montok. Selanjutnya Al berbisik dalam hati; “…mantraku sepertinya akan kutujukan padamu…”

----


TIDAK berapa lama Al menunggu, gadis itu pun sudah kembali.

                “Sebentar banget?” tanya Al, ketika gadis itu benar-benar berada di hadapannya.

                “Ya, sebagaimana kujanjikan, aku hanya absen saja,” sahut gadis bernama Mayang itu.

                Al tertawa kecil. Dia pun manstarter Spin yang dinaikinya.

                “Ayo, kita jalan,” Mayang pun menghempaskan pantatnya di atas jok belakang Al.

                “Ke mana lagi May?” tanya Al ketika Spin sudah melaju pelahan menuju gerbang kampus Universitas Bengkulu untuk keluar.

                “Kembali ke Soeprapto Al. Saya kok sering menyita waktumu bekerja di jalan itu. Sorry Al,” kata Mayang di perjalanan itu.

                Al hanya tertawa kecil. “Gak apa-apa May, bukankah kerja parkiran itu sudah kuserahkan pada Muslih. Saya suka  kok mengantarmu,” jelas Al.

                “Sungguh Al?!” seru gadis cantik itu.

                “Iya. Bahkan saya bangga membonceng seorang mahasiswa kodokteran yang cantik sepertimu…”

                “Gombal kamu!” teriak Mayang memotong kalimat Al. Tetapi gadis itu tertawa berderai. Suaranya terdengar gembira mendapat pujian dari pemuda itu.

                Al pun senang sekali mendengarnya. Canda ria mereka berdua berpadu dengan suara kendaraan lain yang berlalu lalang di jalan itu.

                Hari ini Al merasa senang sekali mengantar gadis cantik itu untuk kesekian kali. Dirinya merasa sangat berarti bagi orang lain. Bahkan di relung hati terdalam Al merasa sangat berguna. Dia menyadari bahwa hanya seorang mahasiswa miskin yang bekerja sebagai tukang parkir di jalan Soeprapto,tetapi dia merasa  dihormati oleh seorang mahasiswa kedokteran yang cantik rupawan.

Bahkan, Mayang begitu memperhatikan Al dalam segala hal. Bagaimana mungkin, persoalan pasta gigi pun, suatu ketika dulu, dibelikan oleh gadis itu, dalam bentuk satu paket peralatan mandi. Al ketika itu sungguh merasa malu dalam hati. Bahkan ada rasa tersinggung. Sepertinya itu sebuah sindiran untuknya yang selalu mandi keringat dan sedikit kumal. Tetapi kenapa pula harus tersinggung, Al sadar betul, bahwa kini siapa dia sebenarnya. Hanya seorang yang miskin dan  sedang berjuang dalam gelombang samudera kehidupan yang keras saat ini. Karena itu dia hanya terus berfikir positif, bahwa kebaikan orang lain mungkin bentuk keprihatinan saat menyaksikan saudaranya yang perlu mendapatkan bantuan.

 “Saya seorang mahasiswa kedokteran, yang paling standar adalah upaya klinis dan kebersihan ditujukan kepada siapa pun,” bagitu kata Mayang ketika Al mencoba mengklarifikasi soal pemberian satu paket peralatan mandi.

 “Jadi saya pikir tidak ada bentuk sindiran untuk hadiah itu,” lanjut Mayang sambil tertawa.

Al pun ikut tertawa. Dia berusaha memahami dengan relaks, dan gadis itu berbicara penuh etika.  Tetapi baru kini dia semakin kagum dan menyadari, bahwa dari kalimat itu, Mayang memang sorang yang cerdas. Karenanya, fakultas kedokteran yang didapatkan tidak perlulah untuk dipertanyakan. Orang yang pintar selalu mendapatkan kewajaran.

Sampai saat ini apa yang diberikannya selalu dengan keikhlasan. Terakhir, gadis itu memberikannya android baru, dan itu sungguh mengejutkannya. Al mencoba menolak, karena itu terasa berlebihan. Tapi Mayang mengatakan dengan tegas, bahwa dia ikhlas, dan dia memberikan handpon itu demi lancarnya komunikasi. Akhirnya Al hanya terdiam saja.

Al kembali tersadar, ketika ada tangan menepuk pundaknya. “Kita sudah di Soeprapto,” terdengar suara Mayang dari belakang.

Al pun mengerem Spin yang mereka kendarai. Persis mereka telah berada di depan masjid Jamik karya Proklamator Soekarno ketika dibuang di Bengkulu tahun 1942 dulu.

Dan di pelataran parkir, tampak Muslih, si anak kecil itu melambaikan tangan pada Al dan Mayang. Al membalas lambaian Muslih yang kelihatan sibuk mengatur kendaraan motor yang parkir.

“Al, terima kasih ya,” kata Mayang sambil turun dari Spin.

“Sama-sama,” sahut Al. “Tapi tidak ada jadwal kuliah sore ini?” lanjut Al bertanya pada Mayang.

Gadis cantik itu menggeleng. “Hanya ada tugas, tapi akan kukerjakan di tempat kost,” jelas Mayang.

Al pun menyerahkan kemudi Spin kepada gadis itu. Mayang tersenyum. Lambaian tangan mahasiswa kedokteran itu seolah angin sepoy yang menghembus wajah Al di siang itu.  Menyejukkan dan sungguh menyenangkan.

* * *

----  

“…aku baru mengerti, bahwa mencintai seseorang tak semudah dalam angan,” Al mendesis. Hatinya bagai teriris.

----

Ketika hari telah sore, Al membagi penghasilan pada Muslih. Sebelumnya, bocah enam tahun itu telah diajari Al untuk disiplin menyetor padanya. Al mengatakan; “uang hasil yang terkumpul bukan hanya untuk kebutuhanku, tetapi persiapan untukmu sekolah tahun depan,” kata Al pada bocah itu.

Muslih mengangguk. Ia sangat menuruti apa yang dikatakan Al. Karena pemuda itu sudah dianggapnya seorang kakak, sebagai orang tua, dan sebagai pelindungnya.

“Jadi hari ini kakak berikan sebagaimana biasa, untuk kau beli nasi selepas maghrib malam nanti,” kata Al sambil memberi sepuluh ribuan, cukup untuk nasi geprek. “Setelah kau sholat di masjid, jangan lupa kau belajar mengaji pada guru di masjid itu,” demikian lanjut Al.

Muslih menerima uang itu. Bocah itu mengangguk, dalam keluguannya dia mengerti, bahwa selama ini dia telah diajari seorang guru muda di masjid Jamik Soekarno atas permintaan Al beberapa bulan lalu.

“Sore sampai malam kakak akan kuliah,” jelas Al kemudian pada Muslih.

Bocah itu kembali mengangguk.

Al kemudian meninggalkan Muslih. Dia berjalan kaki untuk mengambil buku di kamarnya sebelah gedung parkir mobil pemadam kebakaran Pasar Minggu. Kamar sempit yang pengap itu hanya tempat penyimpanan barang-barangnya, berupa buku-buku, termasuk pakaian Muslih. Kalau untuk  tidur, Al selalu bersama teman-temannya menghabiskan malam di kaki lima pertokoan Soeprapto. Prihatin, memang, tapi semua itu dapat diterimanya tetap dengan rasa syukur. Karena dia dan kawan-kawannya ditakdirkan memiliki badan yang kuat dan selalu sehat. Dinginnya malam, gerimis dan hujan, membuat fisik mereka baik-baik saja.

Ketika dalam perjalanan menuju kampusnya, terlintas kembali Al kepada bayangan, tentang raut seorang gadis. Siapa lagi kalau bukan wajah Mayang Permatasari. Pada siang tadi, entah untuk yang ke berapa kali dia diminta mengantar gadis itu ke kampus. Sore ini, sambil berjalan kaki di trotoar yang terlindungi pohon mahoni besar-besar, Al mencoba menepis bayangan itu. Tapi, selalu saja menggodanya, bahkan setiap kesendiriannya bayangan itu selalu hadir.

Al kembali terbayang pada guru kebathinannya, Oemar Bey. Bila apa yang dirasakannya hari ini pada seorang gadis maka Al berharap, itulah yang pertama dan yang terakhir untuk ditujunya. Dia tau, bahwa Mayang mungkin bukanlah level untuk dia perebutkan, karena Al menyadari dia bukanlah siapa-siapa,  kecuali dia hanya seorang pemuda yang miskin.Tapi Oemar Bey, mengatakan padanya waktu itu, tak perlu ragu bahwa Mantra Penakluk Wanita dapat dilabuhkan kepada wanita pilihan terakhir, untuk mendapatkannya sebagai seorang kekasih dan pada saatnya menjadi seorang istri.

“Kau tentu tau ciri seorang gadis yang menyukaimu, dan tentu juga kau menyadari bisikan hatimu tentang dia, maka labuhkan Mantra itu padanya, maka kau akan mendapatkannya,” demikian kata Oemar Bey ketika itu di padepokannya, persis di pinggiran desa Tanjung Sakti dekat sungai tumutan tujuh yang mengalir deras.

Al percaya itu. Karena selama tiga tahun digembleng belajar bela diri dan kebathinan betapa dia percaya bahwa Mantra itu pada proses pengolahannya tidaklah segampang melabuhkannya. Ada proses-proses yang harus dilewati sebelumnya….

Al tersadar dari lamunan, saat seorang sekuriti kampus menegurnya. “Masuk untuk mahasiswa hukum semester tiga.”

Al baru tahu dia sudah tiba di gerbang Universitas Profesor Hazairin. Dia setengah berlari menuju ruang kuliahnya.

Tetapi di hari-hari berikut, Al makin bertekad untuk melabuhkan Mantra-nya pada Mayang. Dia akan ikuti petunjuk dari Oemar Bey, sang guru kebathinannya. Itu proses terberat karena harus bernyali, butuh keberanian tinggi. Jam tiga dini  hari, harus pergi ke sebuah sungai atau muara dalam kegelapan, untuk mandi membersihkan diri, sebelum membaca Mantra itu di atas sebuah batu atau karang. Al lakukan itu semua, tanpa diketahui oleh siapa pun.

Sungai Bangkahulu, di dekat muara, Al melakukan hal itu, di saat dini hari, pada malam yang sama sekali tidak ada bulan. Gelap gulita, dan hitam. Merasa sudah mandi dengan bersih, Al duduk bersila di atas batu karang pada muara sungai itu. Al pun mambaca Mantra, sambil menengadakan kedua tangan ke langit. Di atas hanya taburan bintang gemerlap. Namun di bawahnya hanya gelap dan hitam. Hanya gemericik sungai yang bertemu ombak samudera pada muara itu. Mulut Al komat kamit membaca Mantra tersebut, dan dipenghujung mantra sebuah nama disebut, yaitu  Mayang Permatasari.

Al merasa plong setelah melakukan semuanya. Itu benar-benar ritual yang menantang. Bagaimana mungkin, di pergi ke muara sungai Bangkahulu yang terkenal angker di waktu dini hari dengan malam yang hitam pekat. Tapi itu dia lakukan hanya untuk seorang Mayang…

Android Al berdering. Dan seketika Al menyambarnya, karena foto profil Mayang ada di layar.

“Halo Al, kau ada di mana?” suara Mayang di seberang.

“Aku baru mau ke kampus pagi ini, May. Ada pertemuan Senat,” kata Al.

“Oo, begitu. Bisa ke tempat kost ku dulu Al?” kata Mayang dengan suara merdu.

Al langsung meng-iyakan. Dia benar-benar bahagia mendengar suara Mayang. Apa lagi pagi ini Mayang telah menelponnya untuk yang pertama sejak dia melabuhkan mantra pada ritual beberapa malam yang lalu. Dan itu bagi Al, adalah pertanda sudah berlaku mantranya pada seorang gadis yang ditujunya. Al tersenyum, dan langsung melangkah menuju ke tempat kost Mayang yang tidak jauh dari  jalan Soeprapto.

Ketika tiba di tempat kost Mayang, gadis itu menyambut Al dengan senyum. Al membalas dengan senyum pula.

“Aku ingin mengajakmu ke Jakarta,” kata Mayang setelah Al  duduk berhadapan di teras rumah kost itu.

Al terkejut mendengarnya. “Ke Jakarta?” tanya Al melongo.

“Ya, aku ingin memperkenalkan kau pada orang tuaku,” sahut Mayang.

Al tertegun. Agak lama dia terdiam.

“Kenapa diam Al? Kau tak keberatan bukan?” tanya Mayang.

Al mengangguk, masih dalam keterkejutan yang tak disangkanya. Hatinya berbisik, apakah ini hasil sebuah mantra?

“Al, aku ingin kau mengenal keluargaku. Dan, aku ingin kau menghadiri pertunanganku…”

“Apa? Pertunangan May?!” Al terkejut bukan kepalang.

“Ya Al. Kau siap ‘kan temani aku ke Jakarta?” kata Mayang lagi. Suara gadis itu benar-benar tenang.

Sebaliknya Al seperti disambar petir di siang bolong. Betapa tak terduganya apa yang baru didengarnya. Hatinya bergetar, seakan nafas ingin berhenti. Rasanya ia mau berteriak, apa arti semua mantra?

Dalam keterpakuannya, hati Al pun berbisik; “…aku baru mengerti, bahwa mencintai seseorang tidaklah semudah dalam angan…,” Al mendesis. Hatinya bagai teriris.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar