Cerita Pendek
Karya Lekat S. Amrin
Judul:
Gadis Misteri
Danau Toba
BERJUMPA
dengan seorang gadis cantik seharusnya
menyenangkan. Tapi, bila pertemuan itu justru terjadi peristiwa menakutkan,
bahkan mengerikan, maka semua itu tentulah ada yang salah.
Pengalaman
tak terduga, diluar logika tidak lain adalah misteri yang tak terjangkau otak
manusia. Kecuali semua itu hanya dimaknai sebatas pengalaman spiritual dan ghaib,
mungkin dapat dimengerti.
Begitulah ketika aku bercengkrama dengan
seorang perawan muda yang baru berjumpa, tapi
sahabat karibku mengatakan dengan yakin, bahwa dia sama sekali tidak
menyaksikan bahwa di sampingku ada seorang gadis cantik yang sedang bercerita
tentang Danau Toba. Seketika aku merinding, karena sahabatku tegas berkata
bahwa tak seorangpun di sampingku ketika itu. Lalu siapa gadis itu? Atau justru
aku yang sudah gila?
Begini kisah lengkapnya :
Setelah mobil yang kami tumpangi masuk ke kapal, aku membuka pintu
dan langsung keluar. Begitu pun dua sahabatku, Gusri dan Sodik ikut
mengiringiku untuk naik ke deks atas kapal. Hari telah gelap, tapi di atas
kapal keberangkatan malam sangat terang oleh lampu dengan watt yang sangat
tinggi. Aku memilih berdiri di posisi pojok sambil memegang pagar besi
pembatas. Di situlah aku sangat leluasa menyaksikan gemerlap lampu kota Prapat
Sumatera Utara, di pinggiran Danau Toba. Indah sekali pemandangan itu ketika
malam. Dan kapal yang kami naiki pelahan meninggalkan dermaga Prapat Toba,
bergerak menuju ke Samosir.
Bersama penumpang lain yang
ramai, aku menikmati perjalanan itu dengan gembira. Karena perjalanan pertama
ke suatu daerah biasanya selalu hampir pasti menyenangkan dan berkesan. Dan
benar saja, sebelum aku sempat tersadar dari keterkejutan, seorang gadis cantik
menegur dan tersenyum padaku. “Abang sendirian bepergian?” tanyanya dengan
sangat ramah.
Tentu aku menyambut sapaannya
dengan senyum ramah pula. “Tidak dek, aku bersama dua temanku,” jelasku
kepadanya. Sungguh aku terkejut karena disapa seorang gadis yang belum kukenal.
“O, di mana temanmu,” tanya
gadis itu lagi dengan semnyumnya yang manis.
“Mungkin mereka berdua di tempat
lain,” sahutku pula dengan senyum.
“Oo. Tapi tidak apa kita ngobrol
bang?” kata gadis itu lagi.
“Dengan senang hati,” aku pun
mengulurkan tangan.
Kami berdua pun berkenalan.
Namaku Teguh, sedangkan gadis itu bernama Mei Hua. Katanya dia baru berusia
20an tahun, masih kuliah. Menurut ceritanya, dia keturunan Tionghua, seperti
kuduga soal namanya demikian. Dia berasal dari keluarga yang sangat demokratis.
Mie Hua beragama Kristen Katolik, tapi saudaranya ada yang muslim. Soal
kepercayaan mereka tidak ada masalah. Kehidupan dalam keluarganya sangat rukun
dan saling menghormati.
Kucuri pandang keberadaan gadis
itu, memang sangatlah cantik. Rambutnya dicat kekuningan, dan serasi dengan
baju kemeja perempuan berwarna putih. Kulit gadis itu putih bersih. Dia pakai
celana jins agak ketat, bersepatu olahraga traveling berwarna abu-abu. Kami
berdua menikmati perjalanan kapal menuju Samosir dengan bercerita
masing-masing. Bagiku perjalanan di atas danau Toba malam itu sangatlah
menyenangkan.
Aku bercerita tentang diriku
berasal dari kota kecil Bengkulu. Kota yang sangat indah di pinggir pantai Panjang
dengan cemaranya yang terkenal di dunia. Bahkan kisah cinta proklamator
Soekarno dengan Fatmawati terjalin saat keduanya jalan-jalan di Pantai Panjang
Bengkulu. Ketika itu Soekarno menjalani pembuangan oleh Kompeni Belanda di
kresidenan Bencoolen, yang saat ini bernama Bengkulu.
Kehadiranku di Sumatera Utara hari ini, hingga sampai ke Toba,
adalah bagian dari traveling kesukaanku. Mie Hua suka mendengar ceritaku.
Bahkan dia ingin ikut denganku ke Bengkulu. Dia tertarik dengan kisah
percintaan Bung Karno dengan Fatmawati di kota itu.
Aku tertawa melihat Mie Hua yang serius sekali mendengar ceritaku,
sampai-sampai dia mau ikut denganku, ketika pada saatnya aku pulang ke
Bengkulu. “Serius Bang Teguh, aku tertarik mau ikut abang ke Bengkulu,” kata
Mie Hua sambil memandang wajahku dengan serius.
“Boleh Mie Hua. Ketika di
Bengkulu kau akan melihat rumah Bung Karno yang bersejarah itu,” kataku pada
gadis keturunan Tionghua itu.
Betapa senang gadis itu saat
mendengar ucapanku. Tawanya renyah penuh suka.
Sampai kami berdua tersadar
dengan trompet kapal yang memberitahu bahwa sudah sampai di pelabuhan Samosir. “Wah,
kita sudah sampai Mie Hua. Aku masih ingin sekali ngobrol,” kataku pada gadis
itu.
Mie Hua hanya tersenyum
mengangguk. Tapi dia membisikkan nomor handphon-nya padaku. “Abang telpon aku,
kalau mau ketemu lagi. Aku tinggal di Pangururan,” kata gadis itu lagi-lagi
dengan senyumnya.
Aku mengangguk, sambil melihat
Mie Hua berjalan duluan dan melambaikan tangan padaku.
Aku pun melangkah menuju deks
bawah. Dan gadis itu pun telah menghilang di keramaian.
Dalam mobil aku hanya termangu
membayangkan gadis cantik itu. Gusri dan Sodik yang berada di mobil yang kami
tumpangi, tidak menarik bagiku untuk menyahuti pembicaraannya. Mobil kami terus
melaju menuju kota kecil Pangururan, di Samosir. Di sepanjang jalan aku melihat
tak ada satu pun masjid di tengah pedesaan. Melainkan gereja yang baerdiri
kokoh. Itu pemandangan yang asing bagiku berada di masyarakat mayoritas
Kristen. Tapi aku dengar, muslim yang minoritas, sangat nyaman di daerah ini.
Ketika kami tiba di sebuah hotel
di pinggiraan Danau Toba, aku tak dapat melupakan bayangan wajah Mie Hua.
Bahkan malam itu aku rasa tak bisa tidur. Semua yang kusaksikan tentang Mie Hua
terbayang di pelupuk mataku. Senyumnya, cara dia berkata, gerakan lengannya,
derai rambutnya saat dihembus angin, semua terbayang.
Aku benar-benar gelisah. Sampai-sampai Sodik menegurku. “Tidurlah
bang, ini udah tengah malam,” kata temanku sambil menarik selimut.
“Dik, aku tak bisa tidur. Terbayang sama gadis yang ngobrol di kapal
tadi,” kataku.
Sodik tertawa. “Mana ada gadis yang ngobrol sama abang. Saya gak
lihat kok,” sahut Sodik.
“Lah, masa kau gak liat, saya ngobrol sepanjang perjalanan tadi. Dia
cantik sekali,” kataku pula.
Sodik tertawa lagi. “Hhh, mana ada bang. Itu karena abang udah rindu
seseorang, hh. Udah bang ayo tidur ah,” Sodik pun tarik selimut di tempat tidur sebelahku. Dan berapa
menit kemudian temanku itu benar-benar mendengkur.
Aku benar-benar bingung, masa iya begitu? Sodik dan Gusri sama-sama
berada di deks atas kapal. Mereka di sudut yang lain, tidak jauh dariku.
Benarkah mereka tidak melihat aku ngobrol dengan seorang gadis?
Oleh karena itu, aku makin tak bisa tidur malam itu, bayangan wajah
Mie Hua terasa makin terlintas. Kebingungan yang penuh tanya, membuat aku makin
penasaran, dan tiba-tiba seperti merindukan wajah itu.
Besoknya, masih pagi sekali aku keluar hotel dan menuju pinggir
danau Toba. Tak sabar, kutekan nomor HP yang dibisikkan Mie Hua, sebelum
berpisah denganku di atas kapal.
“Ya, halo,” sahut suara perempuan. Aku yakin itu suara Mie Hua.
“O ya, ini Mie Hua?” tanyaku tak sabar.
“Maaf pak, ini hotel Mie Hua,” sahut wanita itu.
“Oo, Mie Hua punya hotel?” tanyaku tak sabar.
“Ya, saya resepsionisnya,” kata wanita itu lagi.
“Bisa saya ke sana buk?” sahutku lagi.
“Bisa pak, saya kirimkan shareloc-nya,” kata wanita itu.
Aku merasa plong. Dan sangat berharap ketemu lagi dengan seorang
gadis yang selalu membayang di mataku.
Ketika hari sudah agak siang, aku benar-benar menuju ke hotel Mie
Hua. Dalam hati, aku akan ngobrol lagi dengan gadis cantik itu, yang tak
kusangka dia seorang yang kaya raya.
Tentu kalau dia bersedia, maka akan kuajak dia jalan-jalan di sepanjang
pinggiran Danau Toba. Maka pertemuan itu akan semakin berkesan, dengan
menikmati keindahan pulau Samosir dengan Danau Toba-nya yang sangat indah.
Tak terasa, kendaraan yang kutumpangi pun tiba di hotel Mie Hua. Aku
langsung menuju resepsionis. Kulihat wanita cantik sang resepsionis tersenyum
menyambutku.
“Aku Teguh, yang pagi tadi telpon,” kataku pada sang resepsionis.
“Oo, ya, abang mau nginap?” tanya resepsionis.
Aku agak gelagapan. “Oo, Iya, ya, tapi saya mau ketemu dulu sama Mie
Hua…”
“Oo, begitu?!” resepsionis menatapku dengan sorot mata penuh tanya.
“Ya, saya mau ketemu Mie Hua,” kataku lagi yakin. Agak heran aku
melihat tatapan wanita itu.
Terasa olehku dia terus menatapku. “Saya telpon bos dulu,” kata
resepsionis kemudian.
Lalu saya pun dipersilahkan menunggu di loby yang menghadap ke danau
luas.
Tidak lama saya duduk dan menunggu, seseorang pun berjalan menuju
loby. Dia seorang gadis, dan itu kusangka Mie Hua. Tapi aku terkesima hari ini,
karena dia pakai jilbab. Tertegun kumenatapnya.
“Mie Hua?” kataku dengan nada tanya.
Gadis itu tertawa kecil. “Aku bukan Mie Hua, tapi aku Mei Hui…,”
“Oo, maaf. Wajahmu mirip sekali,” aku pun mengulurkan tangan.
Memperkenalkan diri.
“Aku kakak kembarnya,” sahut gadis itu membuat aku melongo. “Abang
teman Mie Hua?” tanya gadis itu melanjutkan.
Aku termangu sejenak. Agak lama terdiam. Setelah gadis itu duduk, kemudian aku bercerita pertemuanku malam tadi
dengan Mie Hua di kapal. Dan hari ini kukatakan aku ingin menjumpainya.
Tapi gadis itu terkejut mendengar ceritaku. “Bang, mana mungkin
cerita itu. Mie Hua sudah meninggal hampir tiga tahun lalu…”
Aku terperanjat. Dan tiba-tiba aku merasa bulu romaku berdiri.
“Benarkah itu? Mie Hua sudah meninggal?” tanyaku lagi seakan tidak percaya.
Gadis itu pun mengangguk. Lalu dia menceritakan peristiwa
tenggelamnya kapal Sinar Bangun 4, tanggal 18 juni 2018 lalu. Dan dari ratusan
korban yang tenggelam, dan tidak ditemukan, antara lain Mei Hua. Sejak itu
keluarganya membangun hotel dengan nama ”Mie Hua” yang menghadap danau, untuk
mengenang almarhumah gadis itu.
Aku benar-benar tertegun. Tapi juga merasa takut. Pertemuanku dengan
seorang gadis di kapal malam tadi, tidak dapat aku mengerti, apakah hal itu
sungguh-sungguh terjadi. Atau halusinasi. Tapi yang membuat aku makin tertegun,
bagaimana mungkin dia membisikkan nomor pensel sebegitu akurat. Ini benar-benar
di luar jangkauan kemampuan kecerdasan otakku. Apakah aku harus tidak percaya,
tapi ini kuyakini telah terjadi. Oh Tuhan, aku hanya berserah diri pada-Mu.
“Ayo bang, kita jalan ke pinggir Danau itu. Biar abang tau, di
sanalah peristiwa terjadinya kapal Sinar Bangun itu tenggelam.” Kata Mie Hui,
saudara kembar Mie Hua. Mie Hui seorang muslim, sebagaimana diceritakan Mie Hua
dalam pertemuan misterius denganku di atas kapal, bahwa keluarganya sangat
demokratis soal agama dan kepercayaan.
Aku dan Mie Hui berjalan di pinggir Danau Toba dengan pelan.
Kusaksikan Mie Hui berlinang air mata ketika mengingat peristiwa sedih tentang
kematian adiknya. Aku berusaha menghiburnya, bahwa semua itu adalah takdir Yang
Kuasa. “Dalam kepercayaan agama kita islam, maka hanya doa kita yang dapat
menolongnya untuk menuju syurga,” ucapku menghibur Mie Hui.
Gadis itu mengangguk. Lalu kemudian, tak kusangka dia pun
menggenggam tanganku.
Aku hanya tertegun. Dan mencoba memahami, bahwa dia tetap dalam
kesedihan atas meninggal adiknya yang tragis. Kewajibanku, untuk saat ini, aku
harus menghiburnya, sehingga Mie Hui dapat tersenyum kembali.@
Samosir, Sumatera Utara,
23 Juli 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar