Mari kita tingkatkan pola hidup sehat, budayakan sering cuci tangan, Jaga jarak, cegah covid-19                                                                                                                                                                                                                                                               

Kamis, 08 Februari 2024

“KETIKA LAUT TERTUMPAH”

Cerpen Akhir Minggu

Karya Lekat S. Amrin

“KETIKA LAUT TERTUMPAH”

 


ADAM Julian Antono baru saja beranjak, lalu hendak meninggalkan Eliza dari kamarnya. Satu jam yang lalu di ranjang yang empuk wanita cantik itu melayani hasrat lelakinya. Bagi Adam, sungguh dunia ini teramat indah tatkala kepuasan telah tercapai dalam naungan nafsu dan cinta. Kesenangan,  kegembiraan, adalah bumbu kehidupan dari hasil perjuangan yang bertahun, dan itu harus Adam nikmati sesuka hatinya.

Sambil melangkah, lelaki berusia 50an tahun itu masih menyaksikan kemolekan tubuh Eliza yang terkapar di kasur empuk nyaris tak berbusana,  sebelum dia benar-benar keluar menuju teras depan. Adam memandang ke lautan lepas terbentang di hadapannya. Dari villa miliknya yang super mewah itu sungguh pemandangan yang menakjubkan. Di kejauhan tampak ratusan burung laut mengepakkan sayap-sayapnya menyusuri atas permukaan pantai berpasir putih. Lalu di sepanjang pantai berbaris pohon tropis dengan kehijauan dedaunannya.

Pantai Ulee Lheue Beach Banda Aceh sudah belasan hektar menjadi milik Adam Julian Antono. Dua hektar lokasi villa peristirahatannya. Sisanya telah dibangun bungalow termewah di pantai itu. Sebagai orang yang kaya raya Adam bisa dimaklumi bila dengan mudah mewujudkan keinginannya. Tidak hanya property, kendaraan mewah, speedboat, tapi juga termasuk wanita cantik seperti Eliza yang kini telah menjadi simpanannya.

Hari ini hampir tiga minggu Adam meninggalkan istri dan anak-anaknya di Jakarta. Sang suami sebagai seorang pengusaha, istrinya sangat memaklumi hal itu. Namun diluar pengetahuannya ketika suaminya tercinta telah tidur bersama wanita lain, adalah peristiwa yang tak pernah dibayangkannya. Dunia memang penuh kebohongan, penuh pengkhianatan dan kemunafikan.

Adam  belum puas memandang  view pantai Ulee Lheue, tiba-tiba tubuhnya merasa bergoyang. Lantai villa yang dipijaknya berayun-ayun. Kencang, kencang sekali. Berapa detik kemudian terasa goncangan hebat.

Kemudian disusul dari dalam villa terdengar teriakan, memanggil Adam.

“MasAdam! Gempa! Gempa!” itu suara Eliza. Dia berteriak keras penuh ketakutan.

Adam pun berusaha berlari masuk. Tapi tubuhnya terasa limbung. Berat badannya karena gendut membuat tubuhnya tidak lincah lagi. Dia hanya berpegang di pilar teras itu. “Liza! Liza! Aku di sini!,” sahut Adam tak kalah kerasnya.

Wanita muda itu pun menghamburkan tubuhnya keluar, menuju Adam yang masih berpegang di pilar. Tubuh Eliza hanya mengenakan cawat dan kutang, langsung memeluk Adam. Tampak masih ketakutan sekali. Erat sekali Eliza memeluk tubuh Adam. Waktu bersamaan, bangunan megah itu berbunyi di semua bagian. Dan semua benda di dalam villa tampak bergerak dan berayun-ayun. Sejurus kemudian pelahan tubuh Adam dan Eliza kelihatan sudah mantap.

Rupanya beberapa saat gempa itu telah berhenti. Seketika Eliza memandang wajah Adam. Rasa ketakutan sedikit berubah penuh harap. “Gempanya berhenti Mas…,” kata Eliza lirih dan manja.

Adam mengangguk sambil melihat sekeliling villa. “Ya, betul gempanya telah berhenti,” sahut Adam pula. “Kau tak perlu takut lagi,” desis Adam di telinga Eliza dengan lembut.

Keduanya masih berpelukan di teras itu. Tampak masih terpaku sembari melempar pandangan ke tengah laut lepas. Burung laut semakin ramai di atas permukaan pantai Ulee Lheue. Kedua orang itu pun mencoba turun dari teras dan menginjak pasir. Mencoba rileks setelah keterkejuatan oleh gerakan tektonik bumi.

Dengan masih berpakaian minim Adam dan Eliza mencoba menyusuri keindahan pantai di Ulee Lheue Aceh yang terkenal itu.  Keduanya mencoba melupakan keterkejutan, sambil bergendengan tangan dengan mesra. Benar-benar keduanya bagai sedang dimabuk asmara.

Namun nun jauh di tengah laut sana, tanpa disadari oleh kedua manusia itu bahwa ada pergerakan raksasa pelahan menuju pantai. Tak diketahui sebelumnya, laut di pinggiran bagai terhisap ke tengah, lalu batu karang pun bermunculan. Kelihatan dengan jelas air laut bagai mengering.

Bergulung hitam bagai bukit barisan, mungkin setinggi berapa depa dari permukaan pantai. Angin pun berdesir terhembus dari tengah, seolah menyampaikan bisikan ke daratan bahwa laut akan tertumpah.

Benar. Gemuruh itu datang. Suaranya sangat asing dan tak pernah terdengar sebelumnya. Adam dan Eliza baru sadar bahwa gulungan raksasa itu sudah sangat dekat. Keduanya menoleh ke tengah dengan terkejut.

“Apa itu Mas?!” teriak Eliza.

Adam langsung menarik tangan Eliza untuk berlari menuju pinggiran pantai. “Itu ombak besar! Itu ombak besar! Awas-awas!” teriak Adam.

Raksasa itu pun tiba. Menderu, menghantam apa pun di hadapannya.  Tak peduli semua diamuknya bersama gemuruh yang mengerikan.

Adam sangat ketakutan dikejar raksasa air itu. Dia tidak tahu lagi di mana Eliza. Dia hanya ingin menyelamatkan dirinya. Berlari sekencang-kencangnya tidak tau lagi arahnya. Namun gumpalan raksasa air itu mengejar lalu pun menyapu Adam dan semua benda di sekitarnya. Dengan ketakutan dan histeris, Adam menyebut satu kata; “Allahuakbar!!!” 

Baru kali ini Adam menyebut kata itu. Seumur hidup baru kini dia meneriakkan kata itu dengan sangat keras, berkali-kali dan tak berhenti. “Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar…!”

Tangan Adam menggapai-gapai apa saja di dalam air yang telah menelannya. Sungguh saat itu Adam kehilangan semua nyalinya, kehilangan semua kehebatannya. Dia ciut, hanya pasrah penuh ketakutan dan terus menyebut nama Allah Maha Besar. Seketika itulah di tangannya seperti ada yang menyorongkan benda sebesar badannya.  Sekuat tenaga Adam menjangkaunya dan memeluk benda itu sekuat tenaga. Saat itu pelahan tubuh Adam pun mengapung. Rupanya benda itu adalah sepotong kayu log sepanjang hampir sedepa. Mendapatkan kayu itu membuat Adam makin tak henti-hentinya menyebut; “Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar”

Adam tak tahu lagi dirinya di mana. Tidak ada lagi daratan.  Matanya hanya melihat permukaan air. Lalu ombak laut bagai tak henti-hentinya menggoncang dan menghantam dirinya. Tapi pelukannya sangat kuat pada kayu itu. Entah berapa jam hal itu berlangsung, sehingga membuat Adam tidak sadarkan diri.

Baru berapa hari kemudian Adam ditemukan terdampar di pantai Sabang. Kayu sebesar badannya masih dipeluknya kuat-kuat. Dia sudah sekarat saat diamankan petugas relawan. Adam dibawa ke tempat penampungan. Dada dan perutnya koyak, terluka parah karena gesekan kayu yang dipeluknya itu sangat kasar permukaannya. Kaki Adam pun patah, sehingga harus di gip oleh petugas medis.

Ketika sadar Adam dengan lirih terus mengucap “Allahuakbar”. Berkali-kali.

Sebulan kemudian Adam hampir pulih. Dia diam-diam sering menangis di malam hari. Dalam hati yang terdalam dia mau tobat terhadap semua kemaksiatan yang dilakukannya. Dia ingin menebus dosa yang telah dilakukannya selama ini. Sekaya apa pun dia, uang ratusan milyar, harta melimpah, sungguh tak ada yang dapat menolongnya di saat Tuhan mencoba kedahsyatan-Nya. Adam yakin kayu sepotong yang disorongkan padanya tidak lain karena dia diberi pertolongan Allah di saat dia putus asa dengan menyebut “Allahuakbar.”  Itu sungguh keajaiban yang dialaminya.

Di hari lain, Adam menyaksikan berita televisi. Bahwa pantai Ulee Lheue Beach Banda Aceh telah datar. Tidak ada lagi yang tersisa. Adam tak ingin mengingat lagi di mana villa mewah miliknya, atau teman maksiatnya masih hidup atau sudah tewas. Semua sudah dihancurkan oleh kedahsyatan Yang Kuasa.

Dengan kaki yang pincang Adam menatap keluar kamp penampungan bencana tsunami. Baginya kini Kekayaan yang paling berharga adalah keluarga. Petugas relawan telah menjanjikan padanya bahwa keluarganya dari Jakarta akan segera datang besok.(#)

@kisah ini terinspirasi dari cerita yang disampaikan sahabat dari Aceh bernama Gure Safrizal.

Penulis adalah Pembina Sanggar Seni Putri Serunting Sakti, Padang Guci, Kaur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar