Mari kita tingkatkan pola hidup sehat, budayakan sering cuci tangan, Jaga jarak, cegah covid-19                                                                                                                                                                                                                                                               

Sabtu, 12 Februari 2022

 Cerita Pendek

Karya Lekat S. Amrin

“Aku Kira,

Hantu Itu Ada”

SEBELUM aku masuk ke mobil, wanita muda itu berkata : “Aku akan pulang besok.” Dia pun pamit dan berlalu meninggalkanku.

                Aku hanya mengangguk dan melambaikan tangan padanya. Punggungnya masih kusaksikan, sebelum dia menghilang dari keramaian pasar. Kututup pintu mobil, dan kutinggalkan pasar Ampera kota Manna itu.

                Tiga puluh menit kemudian androidku berdering. Wajah istriku tampak di Whatshap, dia mengabarkan dengan buru-buru, bahwa Yana telah meninggal sepuluh menit yang lalu karena kecelakaan di Bukit Senuling. Belum sempat aku bertanya, istriku telah memutus telponnya.

                Aku kaget. Kuinjak rem, dan mobil berhenti mendadak. Betapa aku tak percaya mendapat kabar dari istriku. “Mana mungkin? Bukankah baru saja tadi wanita itu bicara padaku, bahwa dia akan pulang besok?” kataku mendesah dalam kebingungan.

                Aku pun terpana beberapa saat. Mataku menatap kosong ke depan. Dalam hati aku berbisik, bila kabar dari istriku benar, lalu siapa wanita yang bicara kepadaku di pasar Ampera itu?

“ Apakah dia hantu…?” bisik hatiku kemudian dengan rasa aneh bukan kepalang.

                Tiba-tiba tengkukku merinding. Dan bulu romaku berdiri. Aku baru menyadari bahwa baru kali ini ada rasa ketakutan pada diriku. Ini pasti ada yang salah. Aku yakin diriku dalam kesadaran, dan perjumpaan dengan wanita yang bernama Yana itu bukanlah sebuah fantasi. Tetapi itu nyata.

Tapi, bagaimana mungkin Yana kecelakaan di bukit Senuling Padang Guci?  Sementara dia baru setengah jam yang lalu berjumpa denganku? Kota Manna dengan bukit Senuling Padang Guci itu harus ditempuh perjalanan mobil setidaknya satu jam lebih. “Ini pasti ada yang salah,” desahku dalam kebingungan.

Kutekan nomor handphone istriku. Aku ingin mamastikan informasi yang dia kabarkan kepadaku.

“Saya lagi di rumah almarhumah Yana, Pa. Rame sekali orang melayat di sini, Papa udah pulang kan? Nanti aja kita sambung lagi…” istriku memutus telponnya. Aku mendengar suara orang ramai di telpon itu, membuat aku percaya kematian Yana adalah nyata.

Bibirku bergetar dan menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Lalu aku pun menjalankan mobil untuk pulang. Tanpa kusadari hari sudah tampak sore, dan sebentar lagi akan malam. Selalu terbayang wajah wanita yang berbicara padaku di pasar Ampera itu, dan kupastikan wanita cantik itu adalah Yana. Kembali bulu romaku berdiri, dan berdesir rasa takutku yang baru mengalami peristiwa ghaib untuk pertama kali bagiku.

 *  *  *

                Satu jam kemudian, aku sampai di tempat kejadian kecelakaan itu. Persisnya di jalan bukit Senuling desa Pagar Dewa, Padang Guci, Kabupaten Kaur, Bengkulu. Hari sudah gelap. Hanya diterangi kelap-kelip lampu darurat mobil vorider Polisi yang masih memasang garis polisi di tempat itu.

                Aku sempat berhenti dan bertanya sama polisi. Dijelaskan, bahwa ibu Yana menyetir sendiri  mobil Agiya, tidak ada yang lain. Laju mobil diduga sangat kencang, dan menghantam beton gorong-gorong di tikungan. Mobil remuk, dan wanita itu meninggal di tempat.

Aku terdiam mendengar cerita itu. Lebih terdiam lagi diriku ketika kubayangkan tentang seseorang yang berbicara padaku di pelataran parkir pasar Ampera kota Manna menjelang sore tadi. Tentu tidak akan kuceritakan pada polisi tentang apa yang baru saja kualami.  Aku tak mau dianggap menghayal, bercerita hal yang tak masuk akal. Biarlah, apa yang kualami akan kusimpan sendiri.

                Aku masuk mobilku, tapi seketika itu, berbagai cerita tentang Bukit Senuling yang angker seakan terkuak dari dalam kepalaku. Banyak sekali cerita bertahun-tahun yang kuterima dari perbincangan di tengah masyarakat Padang Guci. Semuanya terkesan menyeramkan. Tetapi selama ini aku tidak mudah percaya, karena aku adalah seorang yang  rasional dan terpelajar. Hal-hal yang berbau cerita kuntilanak, hantu kaki panjang, yang duduk di dahan kayu besar sisi jalan, dan kakinya menjuntai sampai ke tanah. Anak bocah berjalan sendiri waktu dini hari dan melintas ketika kendaraan motor warga lewat, atau perempuan cantik berambut panjang gentayangan tengah malam di jalan sepanjang Bukit Senuling. Termasuk tempat kejadian kecelakaan Yana ini, menurut cerita-cerita, pernah makhluk itu muncul dan dilihat orang yang lewat. Tetapi cerita  tersebut selama ini hanya membuat aku tersenyum. Aku tidak percaya!

                Pada suatu ketika, aku ada pengalaman menarik. Seorang warga menyampaikan kepadaku, bahwa rumah tempatku berdiam sangatlah angker. Aku dapat memahami ucapannya, karena rumahku berada di dekat kuburan Pagar Dewa. Dan pemakaman itu bagian dari perbukitan Senuling. Lalu cerita sejak dulu kala, tempatku itu sering terjadi kemunculan hantu ketika malam tanpa bulan. Aku tertawa saja menyikapi cerita itu. Tempat tinggalku itu justru paling indah. Rumahku dibangun di atas bukit, dengan pemandangan di seberangnya terhampar sawah yang luas, lalu di kejauhan tampak latar perbukitan pematang yang hijau. Ketika sore tiba, maka sinar matahari berkilau merah jatuh ke hamparan padi yang sedang menguning, maka bagiku tempatku itu adalah istana.

                Pada suatu malam, ketika tak ada bulan, aku pernah diganggu oleh suara-suara aneh. Samar-samar kedengarannya seperti orang menangis, lalu ditimpali dengan suara rintihan. Sebagai orang yang selalu berfikir rasional maka aku harus membuktikan bahwa itu suara apa. Karena aku tidak percaya hantu.  Dengan menggunakan penerangan senter batre baru, kudatangi sumber suara itu. Saat aku melangkah keluar rumah, dapat kupastikan suara-suara tak jelas itu bersumber dari kuburan di sebelah rumahku. Aku berusaha tidak takut, karena menurutku hantu itu tidak ada. Aku keluar pagar rumah, dan aku tahu di tengah kuburan itu ada pohon asam kumbang yang besar. Dengan pelan aku melangkah menuju  sumber suara dekat pohon itu. Kuarahkan senter yang kubawa ke pohon itu, dan ternyata ada burung elang, dan beberapa ekor musang. Binatang itu pun justru terkejut, lalu melompat ke pohon yang lain, dan elang itu pun terbang, mungkin takut  dengan cahya senter yang kuarahkan. Jadi binatang-binatang itulah yang kudengar berbunyi-bunyi di keheningan malam gelap. Sejak saat itu, aku semakin tidak takut, sekali pun tidur bersisian dengan kuburan, di mana terhampar mayat-mayat yang telah menyatu dengan tanah di bawah nisan masing-masing.

                Ketika aku tiba di rumah, istriku juga baru saja pulang dari melayat almarhumah Yana dari desa tetangga. Dia mengatakan mayat Yana besok pagi akan dikebumikan. Aku mengangguk saja. Tidak ada niat untuk menceritakan apa yang aku alami di pasar Ampera Manna sore tadi. Cerita itu bisa saja menakutkan istriku, karena itu tidak perlu kuceritakan saat ini. “Besok aku akan mengantar almarhumah Yana ke pemakaman,” kataku pada istriku.

* * * 

                Seminggu setelah Yana meninggal, aku mencoba kembali ke Pasar Ampera, di mana tempat aku berjumpa dengan sekelebat wanita mirip Yana. Sebulan yang lalu, Yana pernah curhat padaku, bahwa dia menghadapi permasalahan keluarga, karena suaminya melakukan perselingkuhan dengan teman satu kantornya.  Dia sudah pisah ranjang dengan suaminya yang berasal dari kota Manna. Lalu saat itu pun dia menggugat suaminya untuk cerai.  Seminggu sebelum meninggal pengadilan agama memutuskan Yana dan suaminya bercerai.

                Aku hanya dapat mengatakan padanya untuk bersabar menghadapi cobaan itu. Dia adalah sahabatku yang baik sejak kuliah dulu, karena itu aku peduli. Tapi kini semua itu menjadi cerita yang menyedihkan, dan bagiku kujumpai peristiwa ini sungguh menjadi misterius.

                “Bapak mau pesan sate lagi?” tanya seorang ibu menyadarkan lamunanku. Aku tersenyum. Ya,  ibu itu langgananku setiap aku ke pasar Ampera ini

                “Bapak kok banyak diam hari ini?” tanya ibu itu lagi.

                Aku hanya tertawa kecil.

                “Apa bapak menunggu ibu cantik yang seminggu lalu itu?” ibu itu bertanya lagi.

                Aku terkejut. Kutatap wajah ibu tersebut. “Ibu melihatnya juga?”

                Ibu itu mengangguk. “Wanita itu memakai gaun dan kerudung putih-putih, iya kan?”

                Aku benar-benar terperanjat. Apa yang kusaksikan ketika itu busananya sama seperti yang dijelaskan ibu tersebut. Apa maksudnya semua ini?

 Aku hanya terpana. Dan dalam kebingungan itu, hanya satu kalimat yang kubisikkan dalam hati: “Aku kira, hantu itu ada.” (*)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar